Sabtu, 04 Desember 2010

Hotel Oranye




Hotel Oranje (kini Hotel Majapahit) adalah “Grand Hotel” paling lama di Indonesia yang tetap buka sampai hari ini. Hotel yang beralamat di Jalan Tunjungan No 65 ini didirikan oleh seorang pedagang Armenia namanya Lucas Martin Sarkies (1852-1912). Hotel dibangun dalam gaya arsitektur Art Nouveau berdasarkan karya arsitek James Afprey. Proses pembangunan dimulai pada tanggal 1 juni 1910 oleh putra dari Lukas Martin Sarkies.
Hotel dibuka pada tahun 1911 dengan nama “Hotel Oranje”. Hotel dinamai dengan nama keluarga kerajaan Belanda “Oranje”. Tapi Hotelnya tidak berwarna oranye sama sekali. Sebelumnya keluarga Sarkies sudah mendirikan beberapa hotel mewah dan ternama di Asia antara lain Hotel Niagara di Lawang (1911), Hotel Sarkies (kini Kartika Wijaya) di Batu (1891), Eastern (1884) dan Oriental Hotel (1885) di Penang Malaysia, Strand Hotel di Rangoon Myanmar (1901) dan Raffles Hotel di Singapura (1887).

Keadaan gedung pada tahun 1920an tidak beda banyak dari awalnya. Hanya bagian pintu masuk sedikit direnovasi. Dengan menara kembar di bagian pintu masuk dan dengan dua blok (bagian kamar) di sisi kanan dan kiri yang menjorok ke depan, arsitektur Hotel Oranje sangat ngetrend pada tahun 1915 dan menjadi inspirasi untuk Hotel Palace di Malang (1915). Dengan 163 kamar Hotel Oranje adalah hotel paling besar, paling modern dan paling keren di Surabaya.
Setiap sisi deretan kamar dihubungkan oleh koridor yang sisi luarnya dihiasi dengan motif lengkung. Sehingga kalau jendela-jendela kamar dibuka, ruangan atau kamar tersebut akan terlindung dari sinar matahari langsung ataupun dari tempias air hujan.

Pada tahun 1935 kedua menara dihancurkan untuk membuat perluasan baru dibagian depan. Di depan lobi lama dibangun lobi baru yang digunakan hingga sekarang. Lobi baru ini dibangun untuk merayakan ultah hotel ke-25 dengan gaya arsitektur art deco berdasarkan karya arsitek ternama Charles Prosper Wolff Schoemaker (1882-1949). Dia juga adalah arsitek dari Villa Isola di Bandung. Dengan perluasan baru tersebut Hotel Oranje menjadi salah satu dari hotel paling indah dan paling mewah di seluruh dunia. Upacara pembukaan pada tahun 1936 dihadiri oleh pemain film terkenal dari Inggris namanya Charles Chaplin (1899-1979) bersama calon istri Paulette Goddard (1910-1990). Waktu itu di gedung hotel sudah berada toko eskrim Hoen Kwee dan toko buku Van Dorp.


Pada masa pendudukan Jepang, Hotel ganti nama menjadi Yamato Hoteru dan fungsinya berubah menjadi markas militer dan penjara khusus untuk perempuan dan anak-anak. Setelah kapitulasi Jepang Hotelnya dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisioners of War and Internees).
Pada tanggal 19 september 1945 disini terjadi Insiden Bendera. Tiga ekstremis kolonial Belanda bernama Ploegman, Lansdorp dan Jack Boer mengibarkan bendera merah-putih-biru di menara hotel ini. Para pejuang indonesia menaiki menara tersebut dan menyobek bagian biru dari bendera Belanda dan diubah menjadi bendera Merah Putih Indonesia. Insiden bendera itu juga mengakibatkan terbunuhnya Pak Ploegman. Nama Oranje dipakai sampai tahun 1957. Waktu itu hotelnya dinasionalisasikan dan diganti nama menjadi Hotel Majapahit. Disebabkan oleh manajemen yang jelek, hotel ini pelan-pelan menjadi penginapan bobrok dan murahan.

Tahun 1996 grup Mandarin Oriental membeli gedung ini dan melakukan restorasi yang intensif. Kondisi Hotel dikembalikan ke keadaan lama dan menjadi hotel di Surabaya yang paling keren dengan bintang 5 lagi. Semua 163 kamar dan suites berhiaskan benda seni yang asli dan mebel antik juga. Interiornya dilengkapi dengan fasilitas terbaik: dapur kecil, pengering rambut, tv, penyejuk udara, koran harian, minibar, brankas, dan internet. Juga ada aula konferensi untuk 450 tamu, toko bakery “DeliĆ¢”, salon, bar dan restoran ero-asia “Indigo” dan restoran seafood “Sarkies”, poolside bar “Palem”, tea lounge dengan musik live dan wifi. Tersedia fasilitas rekreasi dan bersantai termasuk sauna, pijat, jakusi, lapangan tenis, spa, gym, kolam renang serta pusat kebugaran.



Semua 163 kamar dan suites berhiaskan mebel antik yang asli. Interiornya dilengkapi dengan fasilitas terbaik: dapur kecil, pengering rambut, tv, penyejuk udara, koran harian, minibar, brankas, internet, ruang tamu dengan cukup kursi dan kamar tidur dengan tempat tidur ekstra besar.
(dari http://djawatempodoeloe.multiply.com) Baca selengkapnya...

Tunjungan (5)



Pada tahun 1935 dua gedung pertokoan simetris yang sangat indah dibangun dalam gaya arsitektur Art Deco. Arsiteknya adalah biro AIA. Toko itu disebut Toko Kembar. Di toko kembar kanan terdapat “Java Stores”. Di toko kembar kiri terdapat sebuah toko kesenian yaitu toko Mattalitti. Toko ini menjual pelat gramofon juga. Di dinding depan ada papan iklan “His masters voice” dengan gambar seekor anjing duduk menghadap corong suara. Di seberangnya berada apotik Rathkamp & Co. Jalan tunjungan dilintasi trem listrik dan bis kota. Kita melihat beberapa sepeda juga. Foto ini dibuat pada sesuatu hari raya karena jalan sepi dan banyak bendera berkibar. (dari http://djawatempodoeloe.multiply.com) Baca selengkapnya...

Tunjungan (4)




Pada tahun 1935 dua gedung pertokoan simetris yang sangat indah dibangun dalam gaya arsitektur Art Deco dipengaruhi dengan gaya Streamline Moderne dan Kubisme. Arsiteknya adalah biro AIA. Toko itu disebut Toko Kembar. Di toko kembar kiri (Jl Tunjungan No. 82) terdapat sebuah toko kesenian yaitu toko Mattalitti. Toko ini menjual pelat gramofon juga. Di dinding depan ada papan iklan “His masters voice” dengan gambar seekor anjing duduk menghadap corong suara. Sekarang ditempati warung makan "Rawon Setan". (dari http://djawatempodoeloe.multiply.com) Baca selengkapnya...

Kamis, 02 Desember 2010

Tunjungan (3





Kartupos ini memperlihatkan pertigaan Tunjungan - Genteng Besar mengarah ke utara. Trem uap baru lewat. Di kejauhan kita melihat kepul asap. Paling kanan orang mengumpulkan kotoran kuda yang bisa dimanfaatkan untuk pupuk tanaman. Semua bangunan di kartupos ini sudah hilang. Sekarang di pojok ini terdapat sebuah pos polisi dan toko mobil Honda. Trem uap diganti bis kota. Baca selengkapnya...

Tunjungan (2)




Pada tahun 1930an toko serba ada Aurora didirikan di Jalan Tunjungan hampir di ujung utara yang berhadapan dengan Toko Siola. Aurora (bahasa latin) berarti Dinihari. Gedung ini dibangun dengan arsitektur modern yang bergaya Art Deco dipengaruhi dengan gaya Streamline Moderne dan Kubisme. Saya tidak tahu dengan pasti arsiteknya siapa. Mungkin sekali arsitek adalah Karel Bos dari Malang. Pada tahun 1960an Toko Aurora menjadi bioskop Aurora.
Di lokasi fotografer sebuah jembatan penyeberangan dibangun pada tahun 1980an yang sekarang sudah tutup. Setelah gedung Aurora terbakar tempatnya semrawut.
(dari http://djawatempodoeloe.multiply.com) Baca selengkapnya...

Tunjungan (1)




Kartupos ini memperlihatkan Jalan Tunjungan pada awal abad ke-20. Banyak pohon berdiri di tepi-tepi jalannya dan pejalan kaki masih bisa jalan di tengah jalan dengan aman. Semua gedung dan pohon yang terlihat di kartupos ini sudah hilang. Baca selengkapnya...

Siola




Gedung Siola terletak di ujung utara Jalan Tunjungan. Pada tahun 1877 seorang Inggris Robert Laidlaw (1856-1935) mendirikan perdagangan textil Whiteaway Laidlaw di Hindia Inggris. Pada awal abad ke-20 Whiteaway Laidlaw sudah menjadi konglomerat toko serba ada yang punya cabang di 20 kota seperti Calcutta, Singapore dan Kuala Lumpur, dan Surabaya juga. Di dinding depan bangunannya nama belanda tertulis “Het Engelsche Warenhuis” artinya “Toko serba ada Inggris”

Setelah kemangkatan Robert Laidlaw gedungnya dijual. Pembeli jepang membuka toko Jepang "Toko Chiyoda". Setelah masa kemerdekaan sangat sedih kelihatannya gedung bekas Whiteaway itu. Dulunya ada banyak pedagang yang berjualan koper dan tas-tas dibawahnya. Pada tahun kira-kira 1960 toko Siola (singkatan nama kongsi pemiliknya, Soemitro - Ing Wibisono - Ong - Liem - Ang) mulai dibuka dan menjadi salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya. Pada hari pembukaan Siola, penduduk Surabaya punya perasaan bangga sekali untuk dapat "Mall" pertama. Namun pada tahun 1998 Siola ditutup, dan pada tahun 1999 gedung ini digunakan oleh Ramayana Department Store dengan nama Ramayana Siola. Pada tahun 2008 Ramayana Siola ditutup.
(dari http://djawatempodoeloe.multiply.com) Baca selengkapnya...

Ngemplak




Kartupos diterbitkan oleh Van Ingen dari Soerabaja ini memperlihatkan belokan sungai Kalimas di Ngemplak. Perahu mau melewati jembatan dan masuk kali Pegirian. Jembatan tersebut sampai sekarang tidak berubah.
(dari http://djawatempodoeloe.multiply.com) Baca selengkapnya...

Bubutan





Gereja Protestan di Jl Bubutan No. 69 dibangun pada tahun 1924 berdasarkan karya arsitek Albert Zimmerman (1880-1953). Pada awalnya gereja bernama "Protestantsche Kerk" atau “Nederlandsch Hervormde Kerk” tapi rakyat Surabaya suka menyebutnya dengan nama “Gereja Bubutan”. Pada tahun 1948 ganti nama menjadi GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) “Immanuel”. Sampai sekarang gedung tidak berubah tetapi atap diberi 2 jendela dan ujung menara direnovasi. Tidak diketahui foto ini dibuat pada jam berapa. Ada tempat jam di menara yang kosong. Sampai sekarang tidak ada jam menara.

Konon, nama Bubutan berasal dari kata Butotan. Butotan sendiri merupakan istilah untuk pintu gerbang yang tanpa sekat. Gerbang ini menghubungkan antara kampung Tumenggungan dengan Kraton di masa Adipati Surabaya itu, seorang tokoh legenda di ranah Surabaya jaman silam.
(dari http://djawatempodoeloe.multiply.com) Baca selengkapnya...

Gemblongan (2)




Kartupos memperlihatkan kompleks ANIEM di ujung utara Jl Gemblongan yang pada waktu itu baru dibangun. Pada tahun 1908 sampai 1930 pembangkit listrik ANIEM (Algemeene Nederlandsch-Indische Eletriciteits Maatschappij = Perusahaan Listrik Umum Hindia Belanda) berdiri di jalan ini. Perusahaan ini memakai mesin generator dengan bahan bakar disel untuk membangkitkan listrik yang dipakai untuk menerangi kota. Gedung di tengah foto dengan atap tinggi adalah kantor ANIEM yang dibangun pada tahun 1908 juga. Pada tahun 1930 pembangkit listrik dipindahkan dan dibagian ini dibangun kantor ANIEM yang baru. Pembangunan kantor ini merupakan perluasan dari kantor lama. Perancangnya adalah biro arsitek "Job & Sprey" (kini PT Yodya Karya) yang berkedudukan di Surabaya. Arsitektur bergaya Art Deco tercampur dengan gaya Modernisme. Di pola ini banyak permainan garis-garis geometris. Dipermukaannya banyak permainan garis-garis vertikal dan horizontal.

Setelah kemerdekaan gedung ini menjadi milik Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kedua bagian kantor dari 1908 dan 1930 masih berdiri dengan kondisi cukup bagus dan renovasi-renovasi kecil tidak menghancurkan keindahaan aslinya. Sayangnya panorama di Jl Gemblongan banyak berubah. Semua halaman sudah penuh dibangun dengan toko-toko baru yang berlomba-lomba dalam kejelekan.
(dari http://djawatempodoeloe.multiply.com ) Baca selengkapnya...

Gemblongan




Dulu pompa bensin disebut depot bensin. Kartupos ini memperlihatkan sebuah pompa bensin BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij / Batavia Petroleum Maskapai) di Jl Gemblongan. Inilah salah satu pompa bensin pertama di kota Surabaya. Sebuah mobil sedang diisi bensin oleh pegawai pompa bensin. Di belakangnya sebuah mobil lain sedang diperbaiki. Foto dibuat mengarah ke utara. Di sebelah kanan (di luar fotonya) berada sungai Kalimas. Gedung dengan menara di sebelah kiri adalah Museum Perdagangan Jepang. Gedung ini dibangun pada tahun 1920 tapi sekarang sudah dibongkar. Gedung-gedung di latar belakang terletak di Alun-alun Contong.
( dari http://djawatempodoeloe.multiply.com ) Baca selengkapnya...

Plampitan




Kartupos diterbitkan oleh H. van Ingen dari Soerabaja ini memperlihatkan panorama Sungai Kalimas sepanjang Jalan Plampitan (kini Jl Achmad Jais). Plampitan adalah kampung di kota Surabaya. Kata pelampitan berarti perajin lampit (tiar rotan). Dahulu kampung ini punya industri rumah tangga pelampitan. Jalan Plampitan sebelah kanan melewati Jalan Makam Peneleh dan Jembatan Peneleh. Foto mengarah ke utara.

Kalimas dilintasi perahu gaya gondola Venesia. Di latar belakang terlihat gedung ANIEM (kini PLN) yang dibangun pada tahun 1930. Di sebelah kanan dari kantor ANIEM terlihat pom bensin BMP yang terletak di ujung utara Jl Gemblongan. Di belakang itu terlihat kompleks pertokoan/perkantoran dengan 4 menara putih (hanya 2 menara terlihat) yang dibangun pada tahun 1920. Di sebelah kanan dari kompleks tersebut terlihat gedung putih bergaya Art Deco yang simetris yaitu gedung Singer yang terletak di Alun-alun Contong.

Sekarang gedung PLN masih ada disini tetapi bagian atas sudah sedikit direnovasi. Di sebelah utara dari kantor PLN dibangun sebuah mesjid berwarna biru. Bekas lokasi pom bensin menjadi tempat parkir. Dan perahu gondola sudah pulang ke Venesia.
( dari http://djawatempodoeloe.multiply.com ) Baca selengkapnya...

Pasar Peneleh




Salah satu kampung yang merupakan kawasan asli kota Surabaya adalah kawasan kampung Peneleh. Peneleh adalah sebuah kelurahan di kecamatan Genteng. Nama Peneleh lahir pada zaman Kerajaan Singosari. Peneleh adalah tempat bersemayam pangeran pilihan (pinilih) putra Wisnu Wadhana yang memiliki pangkat sama dengan bupati. Pangeran tersebut kemudian diangkat menjadi pemimpin di daerah antara Sungai Pegirian dan Kalimas. Kawasan kampung Peneleh merupakan salah satu bagian sejarah kota Surabaya, karena di dalamnya memiliki peninggalan sejarah, seperti masjid kuno Peneleh, rumah kuno, makam Peneleh yaitu salah satu makam tertua di Jawa Timur, dan sebuah pasar buah yang tradisional yaitu Pasar Peneleh.

Kartupos diterbitkan H. Van Ingen dari Soerabaja ini memperlihatkan Pasar Peneleh yang sudah didirikan pada abad ke-19. Pada awalnya orang Bali datang kesini untuk menjual buah-buahan. Pada jaman dulu, hasil buah dari pulau Bali besar sekali. Pedagang dari Bali menjualnya sampai Surabaya, Jogja, Solo dan bahkan Batavia. Pasar Peneleh adalah salah satu tempat pertama di Jawa dimana buah anggur dapat dibeli. Anggur itu ditanam di daerah Singaraja. Saksi dari jaman itu adalah Hotel Singaraja Indah yang sampai kini masih ada di Jl. Peneleh No. 60. Semua pedagang dari foto kuno adalah perempuan. Berbeda sekali sama sekarang. Kini semua penjual laki-laki. Sekarang di sepanjang Jalan Peneleh dijual berbagai macam buah, terutama jeruk. Menurut penjualnya, jeruk berkwalitas paling bagus berasal dari daerah Jember.
( dari http://djawatempodoeloe.multiply.com ) Baca selengkapnya...

Sejarah Kota Surabaya

Surabaya secara resmi berdiri pada tahun 1293. Tanggal peristiwa yang diambil adalah kemenangan Raden Wijaya, Raja pertama Mojopahit melawan pasukan Cina.

Peranan Surabaya sebagai kota pelabuhan sangat penting sejak lama. Saat itu sungai Kalimas merupakan sungai yang dipenuhi perahu-perahu yang berlayar menuju pelosok Surabaya.


Kota Surabaya juga sangat berkaitan dengan revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat Surabaya (Arek Suroboyo) bertempur habis-habisan untuk merebut kemerdekaan. Puncaknya pada tanggal 10 Nopember 1945, Arek Suroboyo berhasil menduduki Hotel Oranye (sekarang Hotel Mojopahit) yang saat itu menjadi simbol kolonialisme. Karena kegigihannya itu, maka setiap tanggal 10 Nopember, Indonesia memperingatinya sebagai hari Pahlawan.

Bukti sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, seperti yang tercantum dalam prasasti Trowulan I berangka 1358 M. Dalam prasasti tersebut terungkap bahwa Surabaya (Churabhaya) masih berupa desa ditepian sungai Berantas sebagai salah satu tempat penyeberangan penting sepanjang sungai tersebut.

Surabaya (Churabhaya) juga tercantum dalam pujasastra Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca tentang perjalanan pesiar baginda Hayam Wuruk pada tahun 1385 M dalam pupuh XVII (bait ke 5, baris terakhir)

Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka tahun 1358 M Pprasasti Trowulan) dan 1365 M (Negara Kertagama), para ahli menduga bahwa Surabaya sudah ada sebelum tahun-tahun tersebut.

Menurut hipotesis Von Faber, Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Hipotesis yang lain mengatakan bahwa Surabaya dulu bernama Ujung Galuh.

Versi lain mengatakan bahwa nama Surabaya berasal dari cerita tentang perkelahian hidup dan mati Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon setelah mengalahkan tentara Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah Keraton di Ujung Galuh dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Lama-lama karena menguasai ilmu Buaya, Jayengrono makin kuat dan mandiri sehingga mengancam kedaulatan Majapahit. Untuk menaklukkan Jayengrono diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu kekuatan dilakukan dipinggir sungai Kalimas dekat Peneleh. Perkelahian adu kesaktian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal kehabisan tenaga.

Kata “ SURABAYA “ juga sering diartikan secara filosofis sebagai lambang perjuangan antara darat dan air, antara tanah dan air. Selain itu dari kata Surabaya juga muncul mitos pertempuran antara ikan Suro (Sura) dan Boyo (Baya atau Buaya), yang menimbulkan dugaan bahwa nama Surabaya muncul setelah terjadinya peperangan antara ikan Sura dan Buaya (Baya)

Supaya tidak menimbulkan kesimpang-siuran dalam masyarakat maka Walikotamdya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, dijabat oleh Bapak Soeparno, mengeluarkan Surat Keputusan No. 64/WK/75 tentang penetapan hari jadi kota Surabaya. Surat Keputusan tersebut menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai tanggal hari jadi kota Surabaya. Tanggal tersebut ditetapkan atas kesepakatan sekelompok sejarahwan yang dibentuk oleh Pemerintah Kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata “Sura ing Bhaya” yang berarti “ Keberanian menghadapi bahaya “ diambil dari babak dikalahkannya pasukan Mongol oleh pasukan Jawa pimpinan Raden Wijaya pada tanggal 31 Mei 1293.

Tentang simbol kota Surabaya yang berupa ikan Sura dan Buaya terdapat banyak sekali cerita. Salah satu yang terkenal tentang pertarungan ikan Sura dan Buaya diceritakan oleh LCR. Breeman seorang pimpinan Nutspaarbank di Surabaya pada tahun 1918.

Masih banyak cerita lain tentang makna dan semangat Surabaya. Semuanya mengilhami pembuatan lambang-lambang Kota Surabaya. Lambang kota Surabaya yang berlaku sampai saat ini ditetapkan oleh DPDRS kota besar Surabaya yang keputusan No. 34/DPRS tanggal 19 Juni 1955 diperkuat dengan Keputusan Presiden R.I No. 193 tahun 1955 tanggal 14 Desember 1956.
(dari http://karepkucok.wordpress.com)

Baca selengkapnya...

Aloon-aloon Contong




Kartupos ini memperlihatkan panorama di Alun-alun Contong mengarah ke utara. Gedung dengan menara di latar belakang adalah toko serba ada dari perkumpulan perdagangan “Onderling Belang” yang dibangun pada tahun 1919 dan terbakar pada tahun 1980an. Di sebelah kanan terlihat Toko Buku dan Percetakan “Kolff & Co” dan toko sepatu “May Sun”. Di sebelah kiri terlihat papan iklan yang berbunyi “Sewing machines” yaitu toko Singer. (dari http://djawatempodoeloe.multiply.com) Baca selengkapnya...

Masigit Kemayoran





Masjid Kemayoran pada awalnya merupakan bagian dari komplek alun-alun (masjid letaknya di sebelah barat alun-alun). Masjid ini dibangun pada tahun 1844-1848 berdasarkan karya arsitek J.W.B. Wardenaar (1786-1869) dengan gaya arsitektur Jawa kuno, yang memiliki bangunan utama sebagai tempat untuk beribadah dan dua menara yang berada di sisi kiri dan kanan. Pada 1850an menarah di sisi kiri runtuh akibat disambar petir dan sampai sekarang menara ini tidak dibangun kembali. Masyarakat Surabaya menamakan Masjid Kemayoran karena tanah yang dibangun masjid tersebut adalah bekas rumah seorang mayor tentara. Lapangan didepan masjid dikasih nama Belanda Exercitieplein (= Lapangan latihan militer). Pada tahun 1935 Masjid Kemayoran direnovasi.
Masjid yang saat ini berdiri sudah merupakan bangunan baru yang dibangun diatas reruntuhan Masjid Kemayoran yang lama. Bekas Exercitieplein sudah penuh dengan gedung baru. Baca selengkapnya...

Jembatan Merah




Jembatan Merah merupakan salah satu monumen sejarah di Surabaya. Konon sejak jaman Deandels yakni tahun 1809 jembatan angkat yang dicap merah berada di tempat ini di sungai Kali Mas. Perubahan fisiknya terjadi sekitar tahun 1890-an, ketika pagar pembatasnya dengan sungai diubah dari kayu menjadi besi. Sampai awal abad 19an pusat Kota Surabaya tetap berlokasi di daerah sekitar Jembatan Merah. Pelabuhan Tanjung Perak saat itu belum ada, sehingga kapal-kapal dari Selat Madura dapat berlayar mengikuti Kali Mas yang menuju Jembatan Merah Jembatan Merah. Pedagang-pedagang utama dan kelas kakap yakni bangsa Eropa bermukim di daerahnya seperti di Jalan Jembatan Merah yang dulu dinamai Willemskade.
(dari http://djawatempodoeloe.multiply.com) Baca selengkapnya...

Kampong Arab Soerabaja 1900-2008




Ngampel, atau juga disebut Ampel, adalah sebuah kawasan di bagian utara Kota Surabaya dimana mayoritas penduduknya merupakan etnis Arab. Pusat kawasan Ampel adalah Masjid Ampel, yang didirikan pada abad ke-15. Sunan Ampel (1401-1481) yang berasal dari Kerajaan Champa (Vietnam) diberi tanah di sebelah masjid Ampel oleh Raja Majapahit Brawijaya V. Sampai sekarang, kawasan Ampel merupakan salah satu daerah kunjungan wisata di Surabaya. Jalan di kartupos ini mengarah ke Masjid Ampel. Di latar belakang terlihat menara masjid. Kini jalannya sudah dikasih atap tapi toko-toko yang menjual barang-barang dan makanan khas Timur Tengah masih ada seperti dulu. Saya sendiri sudah pernah beli topi gaya Pakistan disini. Baca selengkapnya...